Lexie M Giroth (kiri) dan Iyeng Sopandi
Kedua orang tersebut dinyatakan bersalah dalam pengadilan lantaran memasukkan cairan formalin ke dalam jasad Cliff tanpa ijin terkait dengan tujuan mengaburkan sebab-sebab kematian salah satu praja terbaik yang dikirim dari Propinsi Sulawesi Utara tersebut.
Lexie M Giroth adalah otak dalam kasus formalin ini sementara Iyeng Sopandi, seorang pegawai bagian pemularaan mayat tersebut hanya diperintah oleh Lexie M Giroth untuk memasukkan formalin ke jasad Cliff. Kedua-duanya memang salah, itu sudah pasti. Namun yang mengherankan adalah perlakuan hukum terhadap kedua orang tersebut sangat timpang, berbeda dan sangat berlawanan serta sangat aneh tentunya.
Saat Iyeng Sopandi telah dituduh melakukan tindakan kriminal tersebut, langsung saja dia dijebloskan dalam balik jeruji besi yang pengap. Sementara itu, meskipun Lexie M Giroth telah berulang kali dimintai keterangannya masih saja bebas berkeliaran bersentuhan dengan publik. Tentu ini sangat menggelitik. Kedudukan dan jabatan sangat berperan penting dalam hal ini. Andai saja Iyeng Sopandi bukanlah seorang rakyat biasa atau rakyat kecil dalam artian dia memiliki kedudukan atau jabatan tertentu yang memungkinkan dirinya untuk dengan mudah mendapatkan penangguhan penahanan seperti yang terjadi pada seorang Lexie M Giroth ini maka kini seharusnya Iyeng pun akan menghirup udara bebas di luar sana. Namun sayang tidak demikian adanya. Hukum nampaknya tidak adil dalam berpihak, pandang bulu dan status sosial seseorang....
Tidak hanya dalam kasus IPDN saja, banyak kasus-kasus lain yang serupa dengan kejadian ini. Ambil saja kasus pembunuhan seorang hakim agung yang diotaki oleh anak mantan presiden RI Soeharto, Tommy Soeharto beberapa tahun silam. Tommy yang sebelumnya diputus pengadilan dengan hukuman 15 tahun penjara, kemudian berkurang menjadi 10 tahun, dan berkurang lagi menjadi tak lebih dari 4 tahun saja.... Ini jelas sangat jauh lebih ringan dari pelaku pembunuhnya. Sementara kedua orang pelaku pembunuhnya mendapatkan hukuman penjara seumur hidup dan tentu saja sekarang masih setia mendekam di balik besi pembatas dengan lingkungan luar.....
Sebuah keringanan hukuman yang jelas sangat mustahil didapatkan oleh seorang maling ayam, maling jemuran dan maling sandal... Dan masih banyak lagi contoh kasus-kasus yang lainnya....
Ahhh... Hukum Indonesia memang tak adil....
semua juga tau kok mas, peradilan kita kacau!
ReplyDeletesaya dulu pernah ikut ngurus kasusnya bos istriku sampe capek ! kalah terus gara2 uang.
akhirnya pasrah 2 tahun di bui daripada ngabisin duit...
auctoritas non veritas fecit legem..
ReplyDeletekekuasaan, dan bukan kebenaran yang membentuk hukum. kata orang seehh...
di mana ada uang
ReplyDeletedi situ ada jalan
pemberian formalin sebenarnya seh, prosedur untuk pengawetan mayat atau pengiriman spesimen biologis....
ReplyDeleteakan tetapi, ok dilakukan pada "spesimen yang bermasalah" maka "formalin" pun naek daun lagi....
ya begitulah..hukum di Ina...maling ayam aja bisa dihukum tahunan kadang malah dibakar idup2...tapi coba liat deh koruptor? di sel aja masih bisa bawa TV ama lemari es sendiri
ReplyDeleteJadi kesimpulanya Hukum Indonesia itu bergantung dengan pangkat, kedudukan, dan duit yang kita punya yag.....
ReplyDeleteSungguh negara yang keren ....
Pancasila sila berapa inih ???
Ahhh... Hukum Indonesia memang tak adil....
ReplyDeletewah...baru tahu mas anang?
;-)
Sedih kalo melihatnya...
ReplyDeleteYang salah di vonis tidak bersalah,
Yang benar di vonis bersalah...
Acchhh... dimana letak keadilannya?
Dagelan, Nang...biasa akeh lakon nang Indonesia :D
ReplyDeleteemang ga ada habisnya kalo ngomongin IPDN :)
ReplyDeletebtw, aneh, ya..
kok seorang "pejabat kampus" malah [diduga] berbuat spt itu? malah menambah panjang daftar permasalahan ketidakberesan IPDN saja.. :(
Hukum di indonesia kan masih memandang pangkat, jabatan dan kasta...
ReplyDeletekeadilan untuk semua. kapan????
ReplyDeleteayo ngguyu :D ayo nggolek duit sing akeh ben dadi penguasa :D
ReplyDeleteah itu mah udah biasaaaaaaaaa.....................
ReplyDeleteDi Indonesia Dewi Keadilan matanya nggak ditutup makanya dia bisa membedakan yang mana pejabat + profesor dan yang mana pegawai biasa.
ReplyDeleteEquality before of law cuma isapan jempol. Selain itu, mungkin Iyeng Sopandi tidak mampu membayar pengacara yang bisa membuat dia tidak langsung masuk bui. Dengan kata lain, Iyeng Sopandi mungkin tidak bisa membayar jaminan (kalau itu ada) agar dia bisa bebas berkeliaran. Namanya juga pegawai biasa.
makanya sekolah yang tinggi dan harus jadi orang pinter, biar gak dipinterin orang lain.
ReplyDeletetahukan indonesia gimana?
maap mas koreksi, Lexie dan Iyeng belum divonis bersalah oleh pengadilan. mereka dijadikan tersangka oleh Polisi (Polda Jabar). berbeda dgn divonis bersalah oleh Pengadilan.
ReplyDeleteKita maklumi saja karena "neraca keadilan" yang dimiliki negara ini telah rusak.
ReplyDeleteSebenarnya "neraca keadilan" kita sudah sangat perlu untuk dikalibrasi ulang, atau bahkan diganti dengan yang baru.
Tetapi siapa yang MAU dan mampu melakukan itu??
halah..bukan hal baru mas, ra sah bingung..biasa biasa!!!
ReplyDeleteaku jadi mikir gimana ya ceriatnya kalau pengadilan kita ini pake sistem juri...wohohoho, yang ada akan ada penyuapan besar2an bagi yang punya uang..hihi